Langsung ke konten utama

Blok Migas Natuna akan Beroperasi

Oleh : Rikyrinovsky | 26-Jul-2010, 02:23:35 WIB

KabarIndonesia - Hingga kini belum diperoleh informasi akurat tentang total biaya untuk pengembangan Blok Natuna. Berdasarkan data Exxon Mobil, total biaya yang dibutuhkan sekitar US$ 40 miliar. Dirut Pertamina Arie Soemarno pada Juni 2007 menyebutkan, biaya investasi pengembangan Natuna hanya US$ 25 miliar.

Sebagaimana Kepala Operasi BP Migas wilayah Sumbagud (Sumatra bagian Utara) Hanif Rusjdi menjelaskannya pada Jurnalis di Hotel Nirwana Gardes (19/7), pada Desember 2008. "Salah satu penyebab besarnya investasi karena gas Natuna mengandung banyak CO2 yang memerlukan teknologi untuk memisahkannya," ujarnya.

“Nah, meskipun telah lama mendapatkan kontrak pengelolaan, tapi ExxonMobil tidak kunjung beroperasi. Alasannya antara lain soal kandungan gas yang mengandung CO2 sampai 70 persen itu. Kemudian, pada tahun 1985, ExxonMobil mendapat perpanjangan kontrak 20 tahun dan boleh mengelola blok Natuna D-Alpha hingga 2005. Tapi selama puluhan tahun itu, ExxonMobil tak kunjung beroperasi. Mereka juga tidak mengajukan program pengembangan lapangan seperti diwajibkan dalam kontrak (PSC Section II pasal 2.2 B),” imbuhnya.

Sesuai ketentuan, kontrak ExxonMobil di Natuna berakhir terhitung sejak 9 Januari 2005 (10 tahun setelah Basic Agreement versi amandemen). Namun, pada tahun 2005, Exxon menolak pemutusan kontrak. Alasannya, pada 17 Desember 2004, empat minggu sebelum kontrak berakhir, ExxonMobil mendeklarasikan niatnya kepada BP Migas untuk mengembangkan struktur AL di Blok Natuna. ExxonMobil menganggap surat komitmen itu sudah cukup untuk menghindari berakhirnya kontrak karena mereka telah menyatakan kesanggupan untuk melanjutkan pengembangan wilayah wilayah tersebut.

Sejak 8 Januari 1980, kontrak pengelolaan blok Natuna D-Alpha telah diserahkan kepada ExxonMobil, saat masih bernama Esso. Menurut seorang pejabat Kementrian ESDM, pemberian kontrak ini adalah kesepakatan lama di masa Orde Baru yang mempunyai nilai sejarah. Tak jelas apa yang dimaksudkan dengan nilai sejarah itu, namun menurut seorang perwira tinggi polisi, kontrak semacam upeti pemerintah Orde Baru kepada Amerika Serikat.

Pada 8 Desember 2006, Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro mengeluarkan surat No. 514/BP00000/2006-SO, yang menetapkan bahwa kontrak pengelolaan Blok Natuna oleh ExxonMobil telah berakhir. Menteri Purnomo juga menyatakan kontrak Blok Natuna secara hukum telah selesai sesuai Peraturan Menteri ESDM No. 040/2006. Lalu pada 25 Januari 2007 Menteri juga menyatakan bahwa lapangan Natuna D-Alpha menjadi wilayah terbuka.

“Keputusan menyerahkan pengelolaan blok itu ke Pertamina sudah melalui sidang kabinet yang dipimpin Presiden. Setelah itu juga ada surat dari Menteri ESDM,” kata Purnomo pada 27 Desember 2008.

Anehnya, surat terminasi kontrak itu tidak pernah secara resmi dikeluarkan dan disampaikan oleh Departemen ESDM kepada ExxonMobil. Selain itu, menurut Dirjen Migas Evita Legowo, belum pernah ada surat yang menegaskan posisi ExxonMobil setelah pemerintah menyatakan kontraknya selesai tahun 2005. Menteri ESDM (saat itu) Purnomo Yusgiantoro juga kerap mengeluarkan pernyataan yang tidak konsisten. Misalnya “Meski Natuna telah menjadi wilayah terbuka, negosiasi sah dilakukan dengan pihak manapun, termasuk dengan Exxon!” Beberapa waktu kemudian, ia mengatakan, “Exxon selaku operator terdahulu diberi kesempatan pertama untuk bernego dengan BP Miga.“

Pada 16 Juli 2008, Pertamina menetapkan Wood Mackenzie sebagai konsultan untuk memilih perusahaan migas yang akan menjadi patner Pertamina mengelola Blok Natuna D-Alpha. Namun, Direktur Utama Pertamina Arie Sumarno mengaku tidak percaya diri untuk menjadi operator.

”Kami minta kejelasan status Exxon Mobil kepada pemerintah, terutama menyangkut masalah hukumnya, sudah selesai apa belum karena ada pihak yang mempermasalahkan itu,” ujarnya pada 11 Desember 2008.

ExxonMobil lalu mengajukan rencana pengembangan (plan of development, PoD) Natuna kepada DESDM, Ditjen Migas, dan BP Migas pada 30 Desember 2008 atas dasar pertimbangan bahwa kontrak yang ditandatangani pada tahun 1995 masih berlaku. Selain itu, ExxonMobil juga mengklaim masih berhak atas Natuna karena telah mengajukan perpanjangan kontrak pada tahun 2004.Meski secara resmi menolak perpanjangan kontrak bagi ExxonMobil, ternyata di belakang layar pemerintah justru masih memberikan kesempatan kepada ExxonMobil untuk memperpanjang kontrak. Misalnya pernyataan Menteri DESDM di Kompas 13 Januari 2009, ketika kontrak dinyatakan selesai pada tahun 2005, pemerintah dan ExxonMobil sempat bernegosiasi pada tahun 2006-2007 untuk mendudukkan perbedaan persepsi. Namun, negosiasi menemui jalan buntu. Pada periode 2007-2008, negosiasi dilanjutkan dengan tawaran Exxon membuat kontrak baru dengan pemerintah. Tapi hasilnya juga deadlock.

Ketidakjelasan sikap pemerintah itu rupanya telah membuat ExxonMobil tetap percaya diri. Mereka mengklaim masih berhak atas Blok Natuna D-Alpha karena pada 2004 pernah mengajukan perpanjangan kontrak untuk lima tahun berikutnya.

“ExxonMobil masih berhak di Natuna. Sesuai kontrak dengan Natuna PSC, pengajuan PoD adalah langkah sebelum deadline pengembangan Natuna berakhir 9 Januari 2009,” kata Vice President ExxonMobil, Maman Budiman, 9 Januari 2009.

”Kalau ada pernyataan bahwa Blok Natuna menjadi wilayah kerja yang terbuka sehingga siapa pun bisa masuk, itu tidak pernah disampaikan secara resmi kepada ExxonMobil,” kata Vice President ExxonMobil, Maman Budiman, pada 27 Januari 2007.

Belakangan, ExxonMobil dikabarkan mengancam akan membawa kasus kontrak blok Natuna D-Alpha ke arbitase internasional. Meski sempat dikatakan bahwa ExxonMobil tak punya hak mengelola Blok Natuna D-Alpha lagi, ternyata selama lebih dari 3 tahun (2006-2008), Exxon Mobil telah diberi kesempatan untuk bernegosiasi. Negosiasi ini tentang perbedaan persepsi atas ketentuan kontrak dan kesempatan untuk membuat kontrak baru. Pemerintah pun tak pernah secara resmi menyampaikan surat terminasi kontrak kepada Exxon Mobil.

Penunjukkan Pertamina sebagai pengelola Natuna seolah dilakukan pemerintah dengan setengah hati. Buktinya, meski dinyatakan telah tertuang dalam surat Menteri ESDM bernomor 3588/11/MEM/2008 bertanggal 1 Juni 2008, Pertamina justru meragukan kekuatan hukum surat itu sehingga membuat mereka memutuskan meunda proses seleksi mitra kerja sama pengelolaan Natuna.

Setelah negosiasi kontrak baru dengan Exxon Mobil tak mencapai kesepakatan, saat berkunjung ke Den Haag 2 Februari 2009, Wakil Presiden Jusuf Kalla sempat mengatakan, “Saya tersinggung kalau ada orang atau pejabat yang mengatakan Exxon punya hak. Saya tegaskan tak boleh ada siapa pun yang mengintervensi kita dalam mengelola sumber daya alam, termasuk soal Natuna.” (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Merasa Bisa atau Bisa Merasa? (Local Wisdom 8)

Oleh: Agung Praptapa Kompetenkah Anda? Profesionalkah Anda? Mampukah Anda? Dalam menjawab pertanyaan tersebut terdapat dua kelompok besar yang saling bertentangan. Kelompok yang pertama akan dengan cepat mengatakan saya kompeten, saya profesional, dan saya mampu. Tapi begitukah keadaan sebenarnya? Tentunya tidak ada jaminan bahwa orang yang mengatakan dirinya kompeten dalam kenyataannya juga kompeten. Yang mengaku profesional belum tentu profesional. Yang mengatakan dirinya mampu dalam kenyataannya belum tentu mampu. Bisa saja mereka hanya “merasa” kompeten, “merasa” profesional, dan “merasa” mampu. Hanya “merasa”. Kenyataannya? Belum tentu! Untuk itulah maka kearifan lokal jawa mengajarkan dua hal yang terdiri dari dua kata dengan dua penempatan. Dua kata yang dimaksud adalah kata “rumongso” yang berarti “merasa” dan kata “biso” yang berarti “bisa ” atau “mampu”. Dua penempatan yang dimaksud disini adalah penempatan dua kata tersebut yang bisa ditempatkan dalam dua kombinasi, yaitu...

SD 002 Sedanau Butuh Perhatian

NATUNA – SD Negeri 002 Sedanau, Kecamatan Bunguran Barat, Kabupaten Natuna masih membutuhkan perhatian dari Pemerintah. Pasalnya gedung SD yang dibangun sejak tahun 2002 silam tersebut masih minim dengan berbagai fasilitas yang dibutuhkan sebagai sarana penunjang belajar mengajar. Kepala Sekolah SD Negeri 002, Dullah Jaya menjelaskan pihaknya telah berulang kali mengajukan bantuan untuk kelengkapan sarana prasarana belajar mengajar tersebut. Hanya saja, hingga kini, pengajuan tersebut belum juga dipenuhi. “Kita sudah berupaya mengusulkan bantuan untuk melengkapi sarana prasana yang dibutuhkan namun belum dijawab. Padahal, kelengkapan sarana prasarana tersebut dibutuhkan untuk meningkatkan mutu pendidikan,” kata Dullah menjawab FOKUS, beberapa waktu lalu. Menurut Dullah, SD Negeri 002 selama ini juga belum pernah mencicipi Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang Pendidikan. Tidak diketahui apa penyebab tidak pernahnya dana DAK disalurkan ke SD Negeri 002. Padahal, ia sudah sering mendegar keb...

Nyaman Menuruti Kata Hati

“Jangan abaikan ‘kata hati’.” Kita sering kali mendengar nasihat bijak ini. Memang benar “kata hati” adalah pengendali langkah dan pemberi informasi yang benar. Siapa pun kita, apa pun profesinya, jika selalu mendengarkan ‘kata hati’, maka senantiasa tepat dalam pengambilan keputusan untuk menentukan prioritas. Dan ‘kata hati’ ini bersifat universal. Karena, dari ‘kata hati’ akan melahirkan kebenaran, keadilan, kasih, sayang, cinta, perdamaian dan sebagainya, yang bersifat universal pula. Kegelisahan terasakan saat Prita Mulyasari terbelit hukum yang mengharuskan ia membayar denda sebesar ratusan juta rupiah. Apa yang Anda rasakan? Adalah dorongan kata hati untuk menolongnya. Sehingga, terkumpullah “koin untuk Prita”, bahkan lebih jika untuk membayar denda yang dibebankan kepadanya. Perasaan ingin menolong, rasa kasih, sayang, dan perasaan ingin melindungi adalah sifat-sifat Sang Pencipta yang Maha-Penolong, Maha-Pengasih, Maha-Penyayang, dan Maha-Pelindung yang ditiupkan ... baca s...