sumber:www.Detikkepri.com
KEPRI - Dosen Teknik Perminyakan ITB yang juga anggota Dewan Kehormatan Forum Komunikasi Migas Nasional, Rudi Rubiandini, mengatakan perlunya pemerataan pembagunan dengan menggunakan Dana Bagi Hasil (DBH) Migas hingga ke tinggkat Desa daerah penghasil. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kemiskinan yang terjadi di tingkat desa.
Kata Rudi, selama ini, di beberapa daerah Kabupaten/Kota, penyaluran DBH Migas hanya terhenti di tingkat Kabupaten/Kota. Karena itu, sejumlah daerah penghasil Migas perlu meniru penerapan DBH Migas Kabupaten Majalengka dan Kota Bojonegoro yang merata hingga ke level desa.
“Di Bojonegoro dan Majelengka pemerataan DBH Migas hingga ke level desa. Ini yang membuat semua daerah merasakan kesejahteraan,” terang Rudi saat menjadi pembicaraan dalam Seminar Perminyakan yang diselenggarakan BP.Migas wilayah Sumatera Bagian Utara (Sumbagut) di Nirwana Garden, Kawasan Wisata Lagoi, Bintan, Senin – Kamis (19 – 22/7).
Rudi mengungkapkan, untuk Bojonegoro dan Majalengka, penerapannya telah ditekankan dalam Peraturan Daerah. Dengan demikian, pembangunan yang didanai DBH Migas, memang diharuskan hingga level bawah masyarakat pedesaaan.
Dijelaskan, dengan penerapan Perda yang mengatur DBH Migas itu, hasilnya cukup efektif untuk pemerataan pembangunan. Selain itu, resapan DBH Migas benar – benar dirasakan warga masyarakat secara menyeluruh.
Wakil Ketua Tim Pengawasan Peningkatan Produksi Migas di Indonesia (TP3M) ini menilai penyaluran DBH cendrung kurang maksimal, terutama di daerah penghasil Migas. Hal inilah yang ditenggarai menjadi pemicu derasnya dampak kemiskinan yang merata di Indonesia.
Ia menilai, jika penyaluran DBH dilakukan hingga ke tingkat paling bawah yakni di level Kelurahan/Desa dan tepat penyalurannya maka penggunaan DBH Migas akan terserap secara maksimal sehingga mampu menekan angka kemiskinan di level paling bawa tersebut.
Saat ini, terangnya, dalam hal penyaluran DBH Migasm, Kabupaten Majalengka dan Kota Bojonegoro, telah selangkah lebih maju dibanding daerah penghasil Migas lainnya di Indonesia. Jika sebelumnya daerah tersebut termasuk daerah yang miskin, berkat adanya Perda yang mengharuskan penyaluran DBH hingga ke level tinggkat Kelurahan/Desa, kini tumbuh dan berkembang secara merata dengan daerah – daerah lainnya.
Dewan Pakar Ikatan Ahli perminyakan Indonesia (IATMI) ini juga memaparkan jika daerah penghasil Migas lainnya juga menerapkan hal yang sama, maka taraf ekonomi masyarakat desa daerah – daerah penghasil Migas lainnya juga dapat meningkat.
“Yang saya amati, banyak daerah yang menyalurkan DBH hanya pada tingkatan Kabupaten semata dan tidak sampai tersalur ke Kelurahan/Desa. Dana tersebut bukan diarahkan untuk pembangunan melainkan diposting dalam anggaran belanja pegawai,” imbuhnya.
Di tempat yang sama, Kepala Operasi BP.Migas Wilayah Sumbagut, Hanif Rusjdi, mengungkapkan bahwa berdasarkan data BP.Migas, cadangan Gas Bumi di Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, mencapai 52.38 Gas Reserves TCF.
Hanif memaparkan bahwa regulasi pengelolaan Migas di Indonesia telah berubah. Jika sebelumnya regulasi diatur dalam Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Pertamina dan Undang – Undang Nomor 44 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan Migas, maka kini diatur dalam Undang – Undang Nomor 22 tahun 2001. Aturan ini juga memaksa Pertamina untuk berubah menjadi Perusahaan Perseroan.
“Perubahan ini diwujudkan pada 17 September 2003 dengan menyesuaikan aturan sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2003,” ujar Hanif.
Dalam kaitan Undang – Undng Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dengan Pemerintahan Daerah, jelasnya, dialokasikan dana bagi hasil dari sumber daya alam sektor Minyak Bumi. Besarnya dana perimbangan yang dialokasikan mencapai 84,5 persen untuk Pemerintahan Pusat dan 15,5 persen untuk Pemerintahan Daerah. Sedangkan untuk dana perimbangan sektor Gas Bumi, 69,5 persen untuk Pemerintahan Pusat dan 30,5 persen untuk Pemerintahan Daerah. laporan:Riky Rinovsky
Komentar